Angkot Merah 19

Setiap hari saya selalu berangkat dan pulang kerja dengan menumpangi angkot ini. Angkot ini adalah angkot jurusan Terminal Depok – Kp. Rambutan Jakarta Timur dan memang melewati jalan di depan kantor saya.

Dua tahun lebih saya menjadi penumpang setia angkot ini, banyak hal yang amati setiap kali menumpangi angkot ini. Mulai dari kebiasaan kondisi lalu lintas Depok, Univ. Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat dan Psr. Rebo sampai kebiasaan penumpang angkot itu sendiri yang cukup menarik untuk diceritakan disini.

Ada rumus baku untuk kondisi lalu lintas dari Depok ke kantor saya, secara garis besar dipengaruhi oleh dua parameter utama, yaitu hari dan jam perjalanan. Senin pagi adalah hari paling macet di jalanan ini jika dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Melihat kebiasaan orang-orang di Jakarta yang selalu pulang ke Bogor pada saat week end and kembali ke kosan dan kontrakan masing-masing pada saat berangkat kerja di pagi Senin. Jadi bisa dikatakan jumlah kendaraan di jalanan Depok – Tanjung Barat pada hari Senin pagi bisa mencapai beberapa kali lipat jika dibandingkan dengan hari kerja lainnya. Dengan ruas jalan yang sama dan beberapa titik memang terjadi pengecilan, sudah sangat bisa dipastikan akan menyebabkan kemacetan. Kondisi ini di perparah lagi oleh ulah sopir angkot yang suka “nongkrongin” angkotnya sembarangan. Kondisi lalu lintas paling macet untuk waktu pulang kerja adalah pada hari Jumat. Seperti yang saya uraikan di atas, hari Jumat sebagian warga Jakarta akan pulang ke daerah pinggiran Bogor untuk menghabiskan week end nya. Otomatis kendaraan yang lalu lalang di jalanan Jakarta – Depok yang menjadi salah satu Jalan penghubung Jakarta – Bogor menjadi sangat ramai.

Rumus baku berikutnya adalah waktu keberangkatan. Semakin pagi berangkat, semakin sedikit jumlah kendaraan yang berada di jalanan berarti semakin tidak macet jalanan yang akan ditempuh. Perbedaan dalam hitungan menit pada waktu pagi ini sangat berpengaruh terhadap waktu tempuh perjalanan, suatu waktu saya pernah telat 10 menit dari waktu biasa berangkat kerja, waktu perjalanan yang saya butuhkan ke kantor menjadi hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan saya berangkat lebih awal. Mungkin inilah bukti dari pepatah nenek saya dulu, “Orang yang bangun siang itu rejekinya di patok ayam”. Jadi semakin telat saya bangun, semakin telat saya nyampe dikantor, lebih kurang seperti itu.

Kembali ke cerita angkot merah 19, setiap pagi dengan angkot ini lah saya menempuh macetnya jalanan dari Depok ke Psr. Rebo. Di pagi hari, kebanyakan penumpang angkot ini adalah wanita. Kalaupun ada laki-laki pasti tidak akan melebihi jumlah wanita yang ada di angkot. Barangkali kaum laki-laki memang lebih suka menaiki motor dari pada harus berdesakan di angkot ini, pikiran saya. Tempat duduk di angkot ini seperti tempat duduk pada kebanyakan angkot, dua tempat bangku sejajar memanjang dan satu bangku serep di dekat pintu angkot. Bangku sejajar panjang biasanya diisi oleh enam orang, bangku sejajar yang lebih pendek diisi oleh empat orang, bangku serep diisi oleh dua orang dan bangku depan disamping sopir angkot bisa diisi dua orang. Jadi total penumpang angkot kalau sudah penuh adalah empat belas orang. Bisa dibayangkan, bangku yang sejajar panjang yang hanya memiliki ukuran 200 cm  x 30 cm itu bisa diisi enam orang. Jika kita analisa lebih dalam dengan ukuran pantat saya yang hanya mempunyai lebar 40 cm, 200 cm sudah sangat sempit untuk diisi enam orang penumpang. Tidak mungkin semua pantat orang yang naik angkot pada waktu yang sama berukuran sama seperti ukuran pantat saya. Artinya sudah bisa dipastikan akan menjadi sangat sempit untuk diisi oleh enam orang.

Saya sering harus duduk dengan hanya “setengah pantat” yang menyentuh kursi angkot, karena tidak bisa lagi untuk dimasukkan. Beberapa kali juga saya lihat seorang dengan tubuh yang kecil duduk begitu rapat dengan orang tinggi besar yang duduk disampingnya. Kepala “sekecil” ini sudah berada di ketek “sibesar” yang kelihatan mulai berkeringat karena kepanasan satu jam setengah duduk di angkot tersebut. Hmm, luar biasa perjuangan para penumpang setia angkot ini, dalam hati saya bergumam.

Selain hal di atas, kebiasaan penumpang angkot lainya yang sering saya amati adalah kebiasaan tidur selama di angkot, waktu perjalanan di angkot sama dengan waktu untuk tidur enak. Memang, sebagian besar penumpang angkot akan tidur sepanjang perjalanan, termasuk saya. Pernah suatu ketika, seorang bapak-bapak tidur dengan sangat pulas, saking pulasnya beliau tidak sadar bahwa ilernya sudah merajalela ke celananya dan mengalir ke lantai angkot. Saya hanya memperhatikan dengan berusaha menahan ledakan tawa. Saya juga berpikir, barangkali pada saat saya tidur, saya juga pernah seperti itu kali ya ha.ha.ha.

Leave a comment